Kamis, 08 Juli 2010

Tak cukup hanya cinta


“Sendirian aja dhek Lia? Masnya mana?”, sebuah pertanyaan tiba-tiba mengejutkan aku yang sedang mencari-cari sandal sepulang kajian tafsir Qur’an di Mesjid komplek perumahanku sore ini. Rupanya Mbak Artha tetangga satu blok yang tinggal tidak jauh dari rumahku. Dia rajin datang ke majelis taklim di komplek ini bahkan beliaulah orang pertama yang aku kenal disini, Mbak Artha juga yang memperkenalkanku dengan majelis taklim khusus Ibu-ibu dikomplek ini. Hanya saja kesibukan kami masing-masing membuat kami jarang bertemu, hanya seminggu sekali saat ngaji seperti ini atau saat ada acara-acara di mesjid. Mungkin karena sama-sama perantau asal Jawa, kami jadi lebih cepat akrab.
“Kebetulan Mas Adi sedang dinas keluar kota mbak, Jadi Saya pergi sendiri”, jawabku sambil memakai sandal yang baru saja kutemukan diantara tumpukan sandal-sendal yang lain. “Seneng ya dhek bisa datang ke pengajian bareng suami, kadang mbak kepingin banget ditemenin Mas Bimo menghadiri majelis-majelis taklim”, raut muka Mbak Artha tampak sedikit berubah seperti orang yang kecewa. Dia mulai bersemangat bercerita, mungkin lebih tepatnya mengeluarkan uneg-uneg.Sebenarnya aku sedikit risih juga karena semua yang Mbak Artha ceritakan menyangkut kehidupan rumahtangganya bersama Mas Bimo. Tapi ndak papa aku dengerin aja, masak orang mau curhat kok dilarang, semoga saja aku bisa memetik pelajaran dari apa yang dituturkan Mbak Artha padaku. Aku dan Mas Adi kan menikah belum genap setahun, baru 10 bulan, jadi harus banyak belajar dari pengalaman pasangan lain yang sudah mengecap asam manis pernikahan termasuk Mbak Artha yang katanya sudah menikah dengan Mas Bimo hampir 6 tahun lamanya.
“Dhek Lia, ndak buru-buru kan? Ndak keberatan kalo kita ngobrol-ngobrol dulu”, tiba-tiba mbak Artha mengagetkanku. ” Nggak papa mbak, kebetulan saya juga lagi free nih, lagian kan kita dah lama nggak ngobrol-ngobrol”, jawabku sambil menuju salah satu bangku di halaman TPA yang masih satu komplek dengan Mesjid.
Dengan suara yang pelan namun tegas mbak Artha mulai bercerita. Tentang kehidupan rumah tangganya yang dilalui hampir 6 tahun bersama Mas Bimo yang smakin lama makin hambar dan kehilangan arah.
“Aku dan mas Bimo kenal sejak kuliah bahkan menjalani proses pacaran selama hampir 3 tahun sebelum memutuskan untuk menikah. Kami sama-sama berasal dari keluarga yang biasa-biasa saja dalam hal agama”, mbak Artha mulai bertutur. “Bahkan, boleh dibilang sangat longgar. Kami pun juga tidak termasuk mahasiswa yang agamis. Bahasa kerennya, kami adalah mahasiswa gaul, tapi cukup berprestasi. Walaupun demikian kami berusaha sebisa mungkin tidak meninggalkan sholat. Intinya ibadah-ibadah yang wajib pasti kami jalankan, ya mungkin sekedar gugur kewajiban saja. Mas Bimo orang yang sabar, pengertian, bisa ngemong dan yang penting dia begitu mencintaiku, Proses pacaran yang kami jalani mulai tidak sehat, banyak bisikan-bisikan syetan yang mengarah ke perbuatan zina. Nggak ada pilihan lain, aku dan mas Bimo harus segera menikah karena dorongan syahwat itu begitu besar. Berdasar inilah akhirnya aku menerima ajakan mas Bimo untuk menikah”.
“Mbak nggak minta petunjuk Alloh melalui shalat istikharah?”, tanyaku penasaran. “Itulah dhek, mungkin aku ini hamba yang sombong,untuk urusan besar seperti nikah ini aku sama sekali tidak melibatkan Alloh. Jadi kalo emang akhirnya menjadi seperti ini itu semua memang akibat perbuatanku sendiri”
“Pentingnya ilmu tentang pernikahan dan tujuan menikah menggapai sakinah dan mawaddah baru aku sadari setelah rajin mengikuti kajian-kajian guna meng upgrade diri. Sejujurnya aku akui, sama sekali tidak ada kreteria agama saat memilih mas Bimo dulu. Yang penting mas Bimo orang yang baik, udah mapan, sabar dan sangat mencintaiku. Soal agama, yang penting menjalankan sholat dan puasa itu sudah cukup. Toh nanti bisa dipelajari bersama-sama itu pikirku dulu. Lagian aku kan juga bukan akhwat dhek, aku Cuma wanita biasa, mana mungkin pasang target untuk mendapatkan ikhwan atau laki-laki yang pemahaman agamanya baik”, papar mbak Artha sambil tersenyum getir.

LOVE STORY



Saat itu liburan sekolah, aku dan keluarga ku di undang ke suatu acara pesta pernikahan saudara ku di Bandungan. Malam itu aku melihat lampu bersinar sangat indah dan semua orang menggunakan pakaian pesta. Dan aku melihat mu disana. Berjalan melewati keramaian.
“hai!” sapa mu saat itu. “hai juga!” balas ku. Kita berpandangan beberapa saat. “Nama ku Romeo!” ucap mu dengan senyum termanis yang pernah ku lihat.
“Romeo hanya akan membawa masalah bagi Juliet” kataku dalam hati. Maka aku tak menjawab, aku hanya tersenyum. Papa menggandeng ku dan menarik ku pergi. Kami menginap di Villa tak jauh dari gedung pesta, jadi kalau mau pulang cukup jalan!
“Elena, kamu dengar ya… jangan pacaran dulu, segalanya takkan semudah yang kamu kira… kamu lihat kakak mu, ia tak pernah berhasil dalam pacaran kan?” ucap papa memperingatkan ku.
Aku hanya mengangguk pelan.
Aku selalu mengenang senyum mu saat itu. aku menangis dan menyesal. “kenapa saat itu aku tak memperkenalkan diriku? Jika aku boleh berharap, Romeo… jangan pergi!” harap ku saat itu.
Dan saat ku lihat kamu di taman pagi itu tepat sebelum aku hendak pulang, aku berlari ke luar dan bertemu dengan mu. Aku tersenyum dan menarik mu menjauh. Lalu aku berbisik karena kita bisa “mati” jika mereka tau;
“romeo, selamatkan aku mereka berusaha memberi tau ku cinta ini sulit tapi ini nyata! Aku akan menuggu mu meskipun jalan terakhir yang bisa kita ambil adalah lari! Kita pasti bisa keluar dari masalah ini” bisik ku, dan itulah terakhir kali aku melihat mu di sana.
***
Tak ku sangka 5 tahun belalu sejak aku melihat mu. Aku mulai lelah menunggu. Aku selalu menunggu mu, tapi kamu tak pernah datang. Kepercayaan ku pada mu mulai memudar.
“gimana Len? Romeo mu udah dateng?” Goda Fanny. “berhentilah menggoda nya fan! Kau mau kena amuk lagi?” Ucap Tiara sambil mengambil kentang di atas piring. “yeah, mungkin emang Romeo itu nggak akan pernah dateng!” ucap ku akhirnya. “yah, nunggu itu emang nggak salah tapi…” belum selesai Fanny bicara seorang membuka pintu kamar ku.
“oh iya! mama lupa! Disini juga ada Fanny sama Tiara ya?” mama hendak menutup pintu. “nggak papa ma, ngomong aja!” ucap ku. “ya udah, ini mama cuma mau ngenalin anak temen mama yang bakal nginep disini buat nyelesein SMA, jadi mungkin dia bakal satu sekolah sama kalian bertiga!” ucap mama.
“siapa ma?” aku mengerutkan kening. Dari belakang muncul seorang cowok berbadan tinggi tegap, sedikit kurus dengan potongan rambut ala Justin Beiber!
“wah! Len! Kalo ini aku juga mau!” bisik Fanny. “hus! Aku duluan nih!” sela Tiara. “hai, nama ku Refan.” Ucapnya tanpa eksprsi.
“hm,… ganteng sih, sayang NON EKSPRESI!!” ucap ku sambil tersenyum sinis. “hus! Kamu ini len!” ucap mama geram “ya udah kalian lanjutin deh ngobrol nya, len… Refan tinggal di kamar sebelah ya.” ucap mama lagi sambil menutup pintu. “tunggu… apa? Kamar sebelah?!” aku buru buru membuka pintu.
“tunggu ma!” henti ku tepat sebelum mama membuka pintu. “em… di kamar itu ada peralatan melukis ku! Aku ambil dulu ya!” kata ku sambil buru burur masuk dan membereskan semua cat air dan lukisan lukisan ku. “nah, udah! Masuk deh!” ucap ku akhirnya.
“kenapa lukisannya nggak ditaruh disana aja? Ruangan itu kan lebar, dan lagi Refan nggak akan merusak lukisan mu!” kata mama sambil memasukan barang barang Refan. “atau mama bawa ke ruang tamu aja biar di pajang!” mama mulai menyentuh lukisan ku.
“Ma!” henti ku, mama terkejut, tapi kalo mama tau apa yang aku lukis… aku bisa “mati”! “nggak usah, biar aku pajang di kamar!” jawab ku sekenanya.
***
Satu tahun berlalu, aneh bukan? Cepat sekali waktu berlalu. Cowok itu benar-benar aneh! Di sekolah ia selalu diam dan tak pernah bersosialisasi, tanpa ekspresi pula. Tiap pulang dia hanya makan terus seharian di kamar tanpa keluar. Tapi jangan salah gitu gitu yang naksir segudang.
“Permisi… apa benar ini rumah Refan?” Tanya seorang cewek. “yah, tepat nya ini rumah ku.” Jawab ku ketus. “tolong kasih ini ke Refan ya!” cewek ini memberikan setangkai bunga dan coklat. Mata ku terbelalak sambil terheran heran. “Harusnyakan cowok yang ngasih bunga sama coklat! Kenapa ini malah cewek? Dunia sudah tebalik!” heran ku.
“nih! Dari PENGGEMAR mu!” ucap ku sambil melemparkan bunga dan coklat ke atas kasurnya.
“buat kamu aja,” ucapnya singkat. “wah, bener nih?” Refan mengangguk pelan. Aku buru buru memakan coklatnya. Jangan sampe dia berubah pikiran! Wkakakak. “kamu ini aneh deh! Kenapa nggak pernah senyum?” Tanya ku penasaran. “nggak seaneh orang yang semua isi lukisan nya adalah gambar anak cowok!” aku tersentak. “hah? Darimana kamu tau?” aku mengerutkan kening.
“Tuh…” Refan menunjuk sekumpulan lukisan di bawah kasur. “astaga! Aku lupa!” aku memukul dahi ku. “tapi nggak papa, besok mau aku bakar kok!”ucap ku cuek. “hah? Kenapa?” ucap nya tiba tiba. “ha ha ha…” aku geli melihat wajah Refan yang kayak abis kesetrum.
“yah, habisnya cowok yang ada di lukisan itu udah nggak ada lagi!”ucap ku dengan santai. “dia kenapa? Kecelakaan?” Tanya Refan, lagi lagi dengan tanpa ekspresi. “enggak, dia… ah, udahlah! Ngapain ngebahas cowok itu! dia Cuma cinta yang nggak akan kesampean!” ucap ku enteng.
“lha, kamu sendiri kenapa nggak pernah senyum?” Tanya ku lagi. “karna percumah!” jawab nya singkat.
Tingtong.
“Elena, Refan, ada Romi!” panggil mama dari bawah. “eh, iya ma!” ucap ku sambil turun ke bawah. “aku baru tau kamu serumah dengan Refan.” Ucap Romi begitu aku tiba di ruang tamu. “yah, dia anak teman mama ku! Dia tinggal di sini sampe selesai SMA!”  ucap ku menjelaskan. “len, aku… aku suka sama kamu!” ucap Romi tiba tiba.
“eh… aku juga suka sama kamu, sebagai teman!” ucap ku. “oh… gitu ya? Ya sudah! Aku balik dulu ya!” Romi pergi seketika.
“kamu menolak nya?” Tanya Refan. “yah, setidak nya dia bukan orang pertama yang ku tolak!” ucap ku. “lalu kenapa kamu tak menolak cowok di lukisan ini?” Tanya nya lagi sambil menunjukkan lukisan wajah ‘romeo’
“dia sangat berarti buat ku.” Ucap ku “dia, cinta pertama mu?” Tanya Refan lagi. Aku mengguk. “tepatnya cinta monyet! Liat aja, cowok itu masih kecil kan? Ha ha ha.” Canda ku.
“aku menunggu nya selama 5 taun! Itu waktu yang lama! Wajahnya makin lama makin pudar dari ingatan ku. Jadi, mungkin ini akhirnya!” aku meneruskan memakan coklat ku. “lalu, kalau hari ini dia datang?” Tanya Refan lagi.
“aku akan bilang kalau aku sangat… kesepian! Dan aku akan bilang kalo aku selalu menunggu nya tapi dia nggak pernah datang. Banyak pertanyaan menghantui pikiran ku....” Refan mengambil sesuatu dari saku jaketnya. Ia mengeluarkan sebuah cincin.
“menikah lah dengan ku, kau tak akan kesepian aku akan bilang pada papa mu. Pakailah gaun putih mu!” ucap nya seketika. “ha ha ha!” tawa ku meledak.
“kamu bercanda kan Ref? emang nya kamu itu…”
“I'll save you, take you to a place where we can both be alone! I’ll be the prince and you’ll be the princess, because I’m your Romeo.” Ucap nya sambil tersenyum. Yah, senyum itu. aku membalas senyumnya sambil menangis. Karena kita masih muda ketika pertama kali aku melihat mu.